Filosofi Enggang Gading menurut Masyarakat Suku Dayak
Burung enggang pada umumnya dihormati oleh masyarakat Suku Dayak, tetapi enggang gading yang memiliki tubuh paling besar di antara spesies rangkong lainnya dianggap memiliki filosofi yang tinggi bagi suku ini. Mereka mengganggap hewan ini sebagai Panglima Burung yang berkaitan kental dengan budaya dan adat istiadat penduduk lokal.
Memiliki badan yang besar, rangkong melambangkan kegagahan suku tersebut. Sayapnya yang lebar dan besar melambangkan sosok pemimpin yang selalu melindungi rakyatnya. Sedangkan ekor rangkong yang panjang dan menjuntai, melambangkan kemakmuran bagi Suku Dayak.
Namun selain karena fisiknya, burung ini juga dianggap memiliki karakter yang baik dan sangat menginspirasi bagi kehidupan sehari-hari. Seperti sifat loyal dan tanggung jawab, diambil dari kebiasaan enggang yang hanya setia pada satu pasangan.
Enggang juga tidak pernah mengambil mangsa yang berada di tanah, sehingga dianggap menggambarkan kesucian dan ketidakserakahan. Suara enggang yang keras dan melengking pun melambangkan ketegasan dan keberanian dalam menjalani kehidupan.
Oleh karena itulah, masyarakat Dayak menganggap enggang merupakan hewan yang sakral, tidak boleh diburu, apalagi dimakan. Di lingkungan suku Dayak, biasanya terdapat banyak artefak dan kesenian berbentuk burung yang mereka anggap memiliki makna filosofis ini.
Sayangnya sejak akhir tahun 2015, International Union for Conservation of Nature (IUCN) mengklasifikasikan enggang gading sebagai salah satu satwa dengan status status critical endangered atau terancam punah, yang merupakan satu tahap menuju kepunahan.
Hal ini disebabkan oleh perburuan liar yang mengincar balung enggang untuk dijadikan aksesoris, dan juga perdagangan illegal dengan tujuan untuk dipelihara. Ditambah lagi kemampuan perkembangbiakan rangkong gading yang lambat dan tingkat kesetiaan dengan satu pasangan, serta hutan yang semakin sedikit membuat satwa ini perlahan kehilangan habitatnya.
Cek berita, artikel, dan konten yang lain di Google News
Suara Kalbar – Kalimantan Barat, sebuah destinasi yang kaya akan keindahan alam dan budaya, menyajikan pengalaman wisata kuliner yang tak terlupakan.
Salah satu makanan khas yang patut dicoba adalah Burung Punai, dengan bulu hijau dan paruh merah yang menjadikannya istimewa.
Dibawah ini kita akan membahas keunikan wisata kuliner di Kalimantan Barat, mengulas seputar makanan khas Burung Punai yang menarik perhatian wisatawan.
Burung Punai, dengan penampilannya yang menyerupai burung dara atau burung merpati, memiliki daya tarik tersendiri.
Namun, keunikan sesungguhnya terletak pada cita rasa lezat yang dihasilkan melalui pengolahan dan penambahan bumbu khusus.
Makanan ini menjadi bukti bahwa kuliner Kalimantan Barat tak hanya tentang penampilan visual, tetapi juga menggugah selera.
Makanan khas Kalimantan Barat ini tidak hanya memanjakan mata, tetapi juga lidah.
Dengan penggunaan bumbu khusus, Burung Punai memberikan sensasi rasa yang unik dan menggugah selera.
Rasanya yang khas membuatnya menjadi hidangan favorit bagi wisatawan yang ingin menjelajahi keberagaman kuliner di daerah ini.
Burung Punai sering dinikmati pada malam hari, menciptakan pengalaman kuliner yang berbeda dan menarik.
Suasana malam yang tenang ditambah dengan aroma lezat dari Burung Punai menciptakan momen kuliner yang tak terlupakan.
Inilah yang membuat wisata kuliner di Kalimantan Barat begitu istimewa.
Dengan mencicipi Burung Punai, wisatawan tidak hanya dapat mengeksplorasi kelezatan kuliner Kalimantan Barat tetapi juga merasakan nuansa lokal yang autentik.
Makanan ini menjadi jendela bagi para pelancong untuk merasakan keanekaragaman budaya dan cita rasa di daerah ini.
Burung Punai bukan hanya bagian dari keindahan alam Kalimantan Barat, tetapi juga menjadi elemen penting dalam memperkaya pengalaman wisata kuliner.
Keunikan kuliner ini mencerminkan keberagaman budaya dan kekayaan alam daerah, menciptakan kenangan tak terlupakan bagi setiap pelancong.
Dengan keunikan Burung Punai, wisata kuliner di Kalimantan Barat memberikan pengalaman yang lebih dari sekadar mencicipi makanan.
Ini adalah perjalanan kuliner yang memanjakan indera dan menyelami keberagaman budaya setempat.
Jadi, saat berkunjung ke Kalimantan Barat, pastikan untuk menyertakan Burung Punai dalam daftar kuliner yang wajib dicoba.
Selamat menikmati kelezatan dan keindahan yang ditawarkan oleh destinasi wisata kuliner ini!
IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS
Enggang gading (Rhinoplax vigil) merupakan salah satu spesies yang mudah dikenali dari bentuk tubuhnya yang besar dan suara ‘calling’-nya yang bisa menggema ke penjuru hutan. Dengan postur tubuh yang besar, bulu ekor yang panjang menjuntai, bulu mata yang lentik, bentang sayap yang lebar, tampilan kepala yang unik membuat enggang gading terkesan sebagai burung purba. Enggang gading sudah lama mendiami hutan-hutan primer di Kalimantan Barat.
Enggang gading maskot Kalimantan Barat. (Rangkongid/Aryf Rahman)
Menurut kehidupan Suku Dayak, enggang gading memiliki nilai-nilai yang bisa menjadi teladan dalam berkehidupan. Beberapa filosofi yang dimiliki kemudian dijabarkan oleh salah seorang penggagas maskot Kalimantan Barat, Budi Suriansyah, diantaranya:
Alasan inilah yang membuat spesies ini dipilih menjadi maskot Kalimantan Barat. Penetapannya didasarkan pada:
Meski telah ditetapkan sebagai maskot Kalimantan Barat sejak tahun 1990, masih banyak masyarakat yang tidak familiar dengan enggang gading. Berdasarkan hasil survei persepsi yang kami lakukan dari tahun 2018-2020 dari 513 responden sebanyak 86% responden tidak mengetahui enggang gading sebagai maskot Kalimantan Barat dan bahkan sering tertukar dengan enggang cula. Mengapa bisa terjadi?
Beberapa dugaan muncul salah satunya karena enggang cula dianggap lebih menawan. Berbeda dengan enggang gading, enggang cula tampak cantik karena bentuk balungnya yang lentik dan lebih menarik. Enggang cula juga lebih sering digunakan sebagai pelengkap dekoratif dalam pakaian adat dan ritual adat ketimbang enggang gading. Bahkan Suku Dayak Iban memiliki Ritual Kenyalang atau Ritual enggang cula yang merupakan ritual terbesar bagi Suku Dayak Iban.
Sementara Suku Dayak Tamambalo menjadikan enggang cula sebagai penanda akan terjadi hal baik ataupun hal buruk berdasarkan arah terbangnya.
Enggang cula sebagai ornamen bangunan di Kalimantan Barat. (Rangkongid/Hardiyanti)
Ditambah enggang cula mendiami hutan sekunder yang jaraknya lebih dekat dengan tempat tinggal masyarakat sehingga mudah dijumpai, dibandingkan enggang gading yang habitatnya berada di hutan primer. Artinya, lokasinya sulit dijangkau oleh manusia. Sehingga masyarakat lebih familiar dengan enggang cula daripada enggang gading. Terbukti ketika ada perayaan-perayaan pembangunan daerah Kalimantan Barat, enggang cula lebih sering ditampilkan daripada enggang gading.
Di tengah kondisi ini, upaya untuk memperkenalkan enggang gading kepada masyarakat telah dilakukan lebih dari dua dekade yang lalu. Bapak Abdul Halim Ramli, ilustrator maskot Kalimantan Barat, telah bergerak untuk memperkenalkan enggang gading sebagai maskot Kalimantan Barat diantaranya dengan membuat pameran seni rupa di Taman Budaya Pontianak pada awal Februari 1993. Pameran ini juga diresmikan oleh Bapak Aspar Aswin, Gubernur Kalimantan Barat kala itu. Beliau juga menciptakan syair yang dijadikan sebagai lagu balada yang pernah dilagukan pada kegiatan di Taman Budaya Pontianak.
Upaya memperkenalkan maskot Kalbar tidak berhenti disitu. Jepit dasi berbentuk enggang gading yang terbuat dari emas bermata intan diserahkan oleh Pemda TK 1 Kalbar kepada Gubernur Kalimantan Barat, Bapak Soedjiman ketika beliau purna bakti.
Foto, lukisan maupun Maskot Kalbar juga dimuat pada cover depan buku Atlas Kalimantan Barat yang telah diterbitkan oleh Pemda Tingkat I Kalbar pada bulan Juni 1993. Buku ini lalu disebarkan hampir ke seluruh SDN di Kalbar. Jika digali lebih jauh, bahkan ada lagu “Enggang Gading dan Tengkawang Tungkul” yang dikenalkan kala itu dengan syair ciptaan Bapak Paul Putra. Lagu ini telah disebarkan di Pontianak dibawah label HB Production.
Seiring berjalannya waktu, ada pergeseran pengetahuan. Sebab sampai saat ini masyarakat masih banyak yang belum mengetahui maskot daerahnya sendiri. Artinya kita masih memiliki tugas untuk berbagi informasi dan terus menyadarkan masyarakat bahwa maskot Kalimantan Barat bukanlah enggang cula, tapi enggang gading. Dengan lebih banyak yang mengetahui, diharapkan kebanggaan dan rasa memiliki masyarakat akan spesies yang saat ini populasinya kritis akan semakin meningkat.
Penulis: Hardiyanti Editor: Mutiara Imanda Yusuf
Mengenal Enggang Gading, Maskot Provinsi Kalimantan Barat yang Punya Nilai Filosofis
Jika Pulau Jawa memiliki elang Jawa, Pulau Papua terkenal dengan burung cendrawasih, Kalimantan juga tak mau kalah dengan burung khas yang ada di wilayah mereka. Pulau yang juga dikenal dengan sebutan Borneo ini memiliki salah satu burung terbesar di dunia yang bernama burung enggang gading. Satwa yang satu ini bahkan disebut-sebut bisa tumbuh sampai setinggi manusia dewasa.
Dari total 62 spesies burung enggang di dunia, 13 spesies di antaranya dapat ditemukan di Indonesia. Namun saat ini, semuanya berada dalam status yang dilindungi oleh pemerintah karena populasinya yang semakin berkurang. Salah satunya adalah burung enggang gading yang bisa ditemukan di hutan Kalimantan Barat.
Burung yang memiliki nama latin Rhinoplax vigil ini juga biasa disebut dengan nama rangkong gading oleh masyarakat Suku Dayak. Enggang gading bahkan telah dipilih sebagai maskot Kalimantan Barat melalui surat edaran dari Kementerian Dalam Negeri dan Surat Keputusan Gubernur Kalbar mengenai penetapan identitas flora dan fauna yang dikeluarkan pada tahun 1990.
Ciri, Habitat, dan Makanan Burung Enggang Gading
Rangkong gading merupakan spesies burung enggang yang terbesar di Asia dengan panjang tubuh berkisar antara 65—170cm dan berat sekitar 290—4200gr. Burung ini sangat mudah dikenali, selain karena badannya yang besar, mereka juga memiliki paruh yang melengkung dan panjang.
Di atas paruhnya, terdapat pula balung atau casque yang tidak dimiliki oleh burung lain dan berfungsi sebagai ruang dengung suara. Perbedaan enggang gading dengan spesies enggang lainnya adalah balungnya yang lebih keras dan padat.
Enggang gading memiliki warna dasar bulu berwarna hitam dengan bagian perut, ekor, dan kaki berwarna putih. Ketika masih muda, paruh enggang gading berwarna putih juga. Akan tetapi, seiring bertambahnya usia, paruh dan balung akan berubah menjadi oranye atau merah.
Rangkong jantan biasanya memiliki warna yang lebih cerah jika dibandingkan betinanya. Selain struktur tubuhnya yang khas, enggang juga memiliki suara yang keras dan melengking sehingga bisa terdengar hingga berkilo-kilo meter jauhnya.
Rangkong termasuk hewan omnivora karena mereka biasa mengkonsumsi buah-buahan, maupun hewan kecil seperti tikus, serangga, dan reptil. Mereka bisa hidup di alam hingga usia 35—40 tahun. Satwa ini juga dikenal sebagai makhluk yang setia, karena setiap individu hanya akan memilki satu pasangan.
Berbeda dengan rangkong cula yang bisa hidup di hutan sekunder, enggang gading terbiasa tinggal di hutan primer yang berisi pohon-pohon sangat besar dan jauh dari manusia. Mereka biasa membuat sarang di lubang pohon yang berada di ketinggian 20—50 meter dari permukaan tanah. Lubang ini biasanya terbentuk dari bekas patahan batang atau sisa lubang dari hewan lain yang kemudian mengalami proses pelapukan.